postingan kemarin galau amat, astaga malu juga aku bacanya hehe
Minggu, 13 Maret 2011
miris
meninggalkan yang satu untuk satu yang lain, miris.
perbedaannya terlalu kontras kawan
Diposting oleh Iftita Rahmatika di 04.42 0 komentar
Sabtu, 12 Maret 2011
wondering
Sometimes I wonder, when I see something that reminds me of you, does it makes you remember me too?
Sometimes I wonder, if I miss you, do you miss me too?
Sometimes I wonder, when I think of you all night long, will you think of me too?
Sometimes I wonder, when I want to know what you're doing tonight, do you want to know what I'm doing too?
Sometimes I wonder, when I keep looking on my phone to see if I got messages or call from you, whether sometimes you do the same way too?
Sometimes I wonder, whether you wondering me or not.
And the answer is not. Do you?
repost
Diposting oleh Iftita Rahmatika di 17.27 0 komentar
Minggu, 06 Juni 2010
gak jelas haha
udah berabad - abad blog ini gak keurus. sepi banget ini blog haha.
mau nulis apa dong?
bingung.
yasudah
Diposting oleh Iftita Rahmatika di 21.44 0 komentar
Jumat, 29 Januari 2010
Belajar dari Fatimah dan Ali
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..
Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah
tentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
“Bukan janj-janji”
(mentang-mentang deket Pemilu..)
Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.
Sumber: http://aisyahkecil.wordpre
Diposting oleh Iftita Rahmatika di 16.06 0 komentar
Minggu, 24 Januari 2010
SALAM DARI CEWEK NAKAL
sumber:http://mujahidcool.multipl
Assalamualaikum yaa akhi, kamu gak seperti kebanyakan laki-laki, biasanya laki-laki suka menggoda dan mendekatiku, kenapa kamu tidak? Apa kamu homo? Ah, masa sih kamu makhluk yang lain dari cowok yang aku kenal selama ini? Kamu pasti juga cowok seperti mereka yang suka dengan cewek dan pastinya suka dengan keindahan kami.
Akhi, itu panggilan buat kamu dan teman-temanmu yah? Walaupun lucu kan kalo dipanggil jadinya Aki, hihi.. aki-aki yah? Walaupun penampilanmu begitu standart tetapi ada yang berbeda deh dengan diri kalian, entah apa itu, kenapa kalian bisa dibilang sebagai cowok idaman sebagai suami mungkin pacar juga bisa.
Ah begitu susahnya mendekatimu, kenapa kau tidak suka melihatku? Apakah tubuhku kurang bagus? Atau wajahku ga bersih?lihat dong ke mataku! Uh, mungkin kamu lebih tertarik seperti para akhwat itu ya? Apasih bagusnya? Pake jubah gede, siapa tau kulitnya ga semulus aku dan mungkin bodynya ga sebagus aku.
Tapi demi rasa penasaranku padamu, aku akan seperti akhwat walaupun rasanya pasti panas banget pake baju dan kerudung seguede itu. Aku juga ikut mengaji kok, yah walaupun hanya mendengarkan sambil chatting dengan hapeku dibelakang, paling enggak dengerin mp3 or radio, kan ga ketahuan kalo pake headset.
Akhirnya kamu mau juga berbicara denganku, walaupun awalnya hanya dibalik kain pembatas ini, dan akhirnya aku juga bisa berbicara walaupun kita saling memunggungi, tapi sadarga akh? Kitakan hanya ngobrol berdua? Walaupun saling memunggungi kita hanya berdua saling berbicara.
Kamu begitu tau kalau kaum wanita itu “lemah” maka kumanfaatkan kelemahanku untuk menarik perhatianmu, aku minta nasihat dengamu, saling mengingatkan sholat tahajud yach walaupun aku males sholat. Aku kadang ga ngerti apa yang kamu bicarakan tapi biarlah yang penting kamu selalu kasih semangat ke aku.
Wah ternyata, walaupun aku tidak bisa memamerkan keindahan tubuhku, aku tahu bagaimana menarik perhatian matamu, setiap ada acara bersama maka aku akan menggunakan baju yang sangat cerah seperti merah, pink dan yang pastinya ga warna gelap deh, pasti kamu menyukainya, karena kalo kamu ga suka berarti kamu ga normal.
Di internet, gimana yah, mungkin aku akan pajang mukaku ku jamin kamu akan membayangkan diriku disaat senggang, walaupun aku hanya memperlihatkan mataku aku tahu kalau cowok itu pengkhayal tingkat tinggi, kamu pasti bisa membayangkan bagaimana diriku.
Kita sering chatting, aku selalu bertanya tentang pribadimu dan pastinya kamupun akan bertanya tentang diriku, tentang masalah kita, bahkan kamupun tidak akan menolak bila kita chatting dengan webcam. Kita sudah saling teleponan, smsan yang padahal ga ada sangkut pautnya dengan yang kamu bilang dakwah.
Sekarang aku menunggu khitbahmu, atau akupun berani mengajakmu ta’arufan. Dengan begitu kamu mau mengantarkanku pergi jauh keluar kota, saling mengingatkan padahal teman sepengajianmupun tidak kamu peringatkan. Sempurnalah kamu menjadi milikku, dan aku yakin dipikiranmu hanya ada aku, aku dan aku.
Walaupun aku ga pernah pacaran seperti ini tapi tak apalah ternyata kamu tetaplah seorang pria yang normal, hanya mungkin sudut pandangmu sajalah yang berbeda kamu tetaplah mudah tertarik dengan apa yang kamu lihat, dan aku sudah berhasil berpacaran dengamu walaupun dengan bentuk lain yang berbeda, hihi… dasar cowok!
Diposting oleh Iftita Rahmatika di 05.07 0 komentar